Pemeran
Protagonis: Kurniawati
sebagai Ibunya Malin.
Rizma Nurfazri sebagai Cahaya.
Antagonis: Pinky
Nur Azizah sebagai Malin Kundang.
Figuran: Muhammad
Rifaldo sebagai Pencopet.
Dicky Andryanto sebagai
Ayahnya Cahaya.
Ryan.S.Putra sebagai Penghulu.
Devi Devanti sebagai
Mira.
Narator: Robi
Rohdini sebagai Narator.
MALIN KUNDANG
Narasi: Di sebuah desa yang bernama Sukamaju, hiduplah seorang anak dan ibunya, sedangkan ayahnya telah lama wafat. Anak tersebut bernama Malin Kundang. Suatu hari, Malin hendak pergi merantau ke luar kota demi mencari pekerjaan.
Narasi: Di sebuah desa yang bernama Sukamaju, hiduplah seorang anak dan ibunya, sedangkan ayahnya telah lama wafat. Anak tersebut bernama Malin Kundang. Suatu hari, Malin hendak pergi merantau ke luar kota demi mencari pekerjaan.
Malin: “Ibu, Malin hendak pergi
merantau ke luar kota untuk mencari pekerjaan. Tolong izinkan Malin,
bu.”
Ibunya Malin: “Apa kamu yakin? Mencari
pekerjaan di luar lebih sulit daripada di desa.”
Malin: “Ya, Malin yakin! Tolong izinkan
Malin, bu!”
Ibunya Malin: “Baiklah. Hati-hati, nak.”
Malin: “(mencium tangan ibunya) Malin pergi, bu.”
Narasi: Malin pun pergi merantau ke luar
kota.
Tempat
demi tempat telah ia datangi tetapi hasilnya nihil.
Saat
sampai di sebuah pasar, mendadak ia melihat seorang pencopet.
Cahaya: “(berjalan di pasar)”
Pencopet: “(menodongkan pisau) Serahkan tasmu! (mengambil tas yang Cahaya bawa lalu kabur)”
Cahaya: “(menyerahkan tas yang ia bawa) Copet! Copet! Tolong, ada copet!”
Malin: “(kaget)
(mengejar
pencopet) Heh, kau! Dasar, beraninya dengan perempuan! Cepat kembalikan tas
nona itu! (hendak meninju)”
Pencopet: “Ampun…”
Malin: “Ayo ikut saya ke kantor
Polisi!”
Narasi: Akhirnya, Malin berhasil merebut
kembali tas yang telah diambil oleh pencopet.
Malin: “(menyerahkan kembali tas Cahaya) Ini tas Anda, nona.”
Cahaya: “(mengambil kembali tasnya) Ah, jangan panggil saya dengan sebutan
“nona”, panggil saya
“Cahaya”.”
Malin: “Baiklah, Cahaya.”
Cahaya: “Terima kasih ya atas bantuanmu.
Kalau boleh tahu, siapa namamu?”
Malin: “Iya, sama-sama.
Nama saya Malin.”
Narasi: Karena kebaikan hatinya, ayahnya
Cahaya pun mempekerjakannya sebagai karyawannya.
Ayahnya Cahaya: “Terima kasih atas pertolonganmu,
nak! Untung saja ada kamu.”
Malin: “Iya, sama-sama, pak.”
Ayahnya Cahaya: “Saya dengar, kamu sedang mencari
pekerjaan. Benar?”
Malin: “Iya, benar.”
Ayahnya Cahaya: “Kebetulan sekali! Perusahaan
saya sedang membutuhkan satu pegawai lagi. Saya
harap, kamu mau menerima tawaran ini.”
Malin: “Alhamdulillah… Terima kasih,
pak! Saya memang sedang mencari pekerjaan.”
Ayahnya Cahaya: “Kalau begitu, kamu bisa bekerja
mulai besok.”
Narasi: Sekian lama sudah Malin bekerja
sebagai karyawan dari ayahnya Cahaya. Lama-kelamaan, Malin dan Cahaya menjadi
akrab. Karena keakraban mereka, Malin sampai hampir tidak ingat lagi pada
ibunya di desa.
Hingga
suatu hari, mereka pun menikah.
Penghulu: “Saya nikahkan Malin Kundang bin
Rojib dengan Cahaya Nuraeni binti Saepullah dengan
seperangkat alat Shalat dibayar tunai.”
Malin: “Saya terima nikahnya dengan
seperangkat alat Shalat dibayar tunai.”
Penghulu: “Sah?”
Semua: “Sah.”
Penghulu: “Alhamdulillah…”
Narasi: Beberapa tahun kemudian,
pulanglah Malin ke desa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan dulu.
Mira: “Emak! Emak! Malin pulang, mak!”
Ibunya Malin: “Malin pulang? Alhamdulillah Ya
Allah…”
Mira: “Ayo, mak.”
Ibunya Malin: “Malin anakku! Kamu telah
pulang, nak?”
Narasi: Karena merasa malu dengan kondisi
ibunya, Malin pun tidak mengakui ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Malin: “Siapa kamu?! Berani-beraninya
mengaku sebagai ibuku!”
Ibunya Malin: “Ini ibumu, nak. Ibumu yang
melahirkan dan membesarkanmu… (memegang tangan
Malin)”
Cahaya: “Siapa wanita tua ini, kang?
Kenapa kamu tidak mengakuinya sebagai ibumu?”
Malin: “Bohong! (melepas pegangan ibunya) Kamu bukan ibuku! Ibuku telah lama meninggal!”
Malin dan Cahaya: “(pergi)”
Narasi: Ibunya Malin sangat sedih saat
melihat anaknya sendiri yang tidak mengakuinya, dan tanpa sengaja, terucaplah
sebuah kutukan dari mulutnya.
Ibunya Malin: “Ya Allah, kenapa? (menangis) Malin anakku yang telah
kulahirkan dan kubesarkan,
kenapa
tidak mengakuiku sebagai ibunya? Apabila ia masih durhaka kepadaku, kutuklah ia
menjadi batu.”
Narasi: Ketika hendak menaiki kapal yang
ditumpangi, tiba-tiba badai besar melanda.
Malin: “Ada apa ini? Badai begitu
besar.”
Narasi: Akhirnya, Malin menyadari bahwa
ini adalah kemurkaan ibunya.
Malin: “Maafkan Malin, bu!”
Ibunya Malin: “Sudah terlambat, nak!”
Narasi: Seketika itu juga, berubahlah
Malin menjadi batu.
Malin: “(berubah menjadi batu) Aaahh!!!”
Narasi: Pelajaran berharga dari kisah
Malin Kundang ini adalah, hormatilah ibumu. Jangan sekali-kali membangkang pada
ibu. Ibu adalah orang yang telah melahirkan, membesarkan, serta mendidik kita
hingga kita menjadi seperti sekarang. Maka dari itu, ibu harus kita hormati.
SELESAI
No comments:
Post a Comment