Thursday, February 6, 2014

[NASKAH DRAMA] Malin Kundang (dengan beberapa tambahan)



Pemeran
Protagonis:      Kurniawati sebagai Ibunya Malin.
                        Rizma Nurfazri sebagai Cahaya.
Antagonis:       Pinky Nur Azizah sebagai Malin Kundang.
Figuran:          Muhammad Rifaldo sebagai Pencopet.
                        Dicky Andryanto sebagai Ayahnya Cahaya.
Ryan.S.Putra sebagai Penghulu.
                        Devi Devanti sebagai Mira.
Narator:           Robi Rohdini sebagai Narator.

MALIN KUNDANG
 
Narasi: Di sebuah desa yang bernama Sukamaju, hiduplah seorang anak dan ibunya, sedangkan ayahnya telah lama wafat. Anak tersebut bernama Malin Kundang. Suatu hari, Malin hendak pergi merantau ke luar kota demi mencari pekerjaan.
Malin: “Ibu, Malin hendak pergi merantau ke luar kota untuk mencari pekerjaan. Tolong izinkan Malin,
bu.”
Ibunya Malin: “Apa kamu yakin? Mencari pekerjaan di luar lebih sulit daripada di desa.”
Malin: “Ya, Malin yakin! Tolong izinkan Malin, bu!”
Ibunya Malin: “Baiklah. Hati-hati, nak.”
Malin: “(mencium tangan ibunya) Malin pergi, bu.”
Narasi: Malin pun pergi merantau ke luar kota.
Tempat demi tempat telah ia datangi tetapi hasilnya nihil.
Saat sampai di sebuah pasar, mendadak ia melihat seorang pencopet.
Cahaya: “(berjalan di pasar)”
Pencopet: “(menodongkan pisau) Serahkan tasmu! (mengambil tas yang Cahaya bawa lalu kabur)”
Cahaya: “(menyerahkan tas yang ia bawa) Copet! Copet! Tolong, ada copet!”
Malin: “(kaget)                                         
            (mengejar pencopet) Heh, kau! Dasar, beraninya dengan perempuan! Cepat kembalikan tas nona itu! (hendak meninju)”
Pencopet: “Ampun…”
Malin: “Ayo ikut saya ke kantor Polisi!”
Narasi: Akhirnya, Malin berhasil merebut kembali tas yang telah diambil oleh pencopet.
Malin: “(menyerahkan kembali tas Cahaya) Ini tas Anda, nona.”
Cahaya: “(mengambil kembali tasnya) Ah, jangan panggil saya dengan sebutan “nona”, panggil saya
  “Cahaya”.”
Malin: “Baiklah, Cahaya.”
Cahaya: “Terima kasih ya atas bantuanmu. Kalau boleh tahu, siapa namamu?”
Malin: “Iya, sama-sama.
            Nama saya Malin.”

Narasi: Karena kebaikan hatinya, ayahnya Cahaya pun mempekerjakannya sebagai karyawannya.
Ayahnya Cahaya: “Terima kasih atas pertolonganmu, nak! Untung saja ada kamu.”
Malin: “Iya, sama-sama, pak.”
Ayahnya Cahaya: “Saya dengar, kamu sedang mencari pekerjaan. Benar?”
Malin: “Iya, benar.”
Ayahnya Cahaya: “Kebetulan sekali! Perusahaan saya sedang membutuhkan satu pegawai lagi. Saya
       harap, kamu mau menerima tawaran ini.”
Malin: “Alhamdulillah… Terima kasih, pak! Saya memang sedang mencari pekerjaan.”
Ayahnya Cahaya: “Kalau begitu, kamu bisa bekerja mulai besok.”
Narasi: Sekian lama sudah Malin bekerja sebagai karyawan dari ayahnya Cahaya. Lama-kelamaan, Malin dan Cahaya menjadi akrab. Karena keakraban mereka, Malin sampai hampir tidak ingat lagi pada ibunya di desa.
Hingga suatu hari, mereka pun menikah.
Penghulu: “Saya nikahkan Malin Kundang bin Rojib dengan Cahaya Nuraeni binti Saepullah dengan
       seperangkat alat Shalat dibayar tunai.”
Malin: “Saya terima nikahnya dengan seperangkat alat Shalat dibayar tunai.”
Penghulu: “Sah?”
Semua: “Sah.”
Penghulu: “Alhamdulillah…”
           
Narasi: Beberapa tahun kemudian, pulanglah Malin ke desa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan dulu.
Mira: “Emak! Emak! Malin pulang, mak!”
Ibunya Malin: “Malin pulang? Alhamdulillah Ya Allah…”
Mira: “Ayo, mak.”

Ibunya Malin: “Malin anakku! Kamu telah pulang, nak?”
Narasi: Karena merasa malu dengan kondisi ibunya, Malin pun tidak mengakui ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Malin: “Siapa kamu?! Berani-beraninya mengaku sebagai ibuku!”
Ibunya Malin: “Ini ibumu, nak. Ibumu yang melahirkan dan membesarkanmu… (memegang tangan
Malin)”
Cahaya: “Siapa wanita tua ini, kang? Kenapa kamu tidak mengakuinya sebagai ibumu?”
Malin: “Bohong! (melepas pegangan ibunya) Kamu bukan ibuku! Ibuku telah lama meninggal!”
Malin dan Cahaya: “(pergi)”
Narasi: Ibunya Malin sangat sedih saat melihat anaknya sendiri yang tidak mengakuinya, dan tanpa sengaja, terucaplah sebuah kutukan dari mulutnya.
Ibunya Malin: “Ya Allah, kenapa? (menangis) Malin anakku yang telah kulahirkan dan kubesarkan,
kenapa tidak mengakuiku sebagai ibunya? Apabila ia masih durhaka kepadaku, kutuklah ia menjadi batu.”

Narasi: Ketika hendak menaiki kapal yang ditumpangi, tiba-tiba badai besar melanda.
Malin: “Ada apa ini? Badai begitu besar.”
Narasi: Akhirnya, Malin menyadari bahwa ini adalah kemurkaan ibunya.
Malin: “Maafkan Malin, bu!”
Ibunya Malin: “Sudah terlambat, nak!”
Narasi: Seketika itu juga, berubahlah Malin menjadi batu.
Malin: “(berubah menjadi batu) Aaahh!!!”
Narasi: Pelajaran berharga dari kisah Malin Kundang ini adalah, hormatilah ibumu. Jangan sekali-kali membangkang pada ibu. Ibu adalah orang yang telah melahirkan, membesarkan, serta mendidik kita hingga kita menjadi seperti sekarang. Maka dari itu, ibu harus kita hormati.
SELESAI

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...